Aku Dan Sepatu

Aku dan SepatuIlustrasi: Denny Pratama/detikcom

Jakarta - Waktu kecil dulu mimpi terbesarku punya banyak sepatu. Ayahku memang tukang sepatu, tapi bukan berarti saya sanggup punya sepatu gres setiap bulan. Ya, maklum saja alasannya penghasilan ayah diukur dari berapa banyak sol sepatu yang tiba untuk dibetulkan.

Tiap kali melihat tumpukan sol sepatu yang tak surut-surut, pikiran luguku melumatnya jadi imajinasi punya sepatu baru. Yeah, sebetulnya tak tega juga saya lumat semua sol sepatu itu dalam imajinasiku. Bukan hanya alasannya alot, tapi juga kasihan pada ibu. Ia menggantungkan tebalnya asap kompor pada setiap helai sol sepatu bertukar jadi uang.

Sesekali kucuri juga kesempatan menggunakan sepatu-sepatu yang menunggu giliran untuk dibetulkan ayah. Ah, ini saja sudah bikin saya bahagia. Tulang kaki kerempeng dengan ujung-ujung kukuku yang hitam menyerupai diberi jubah raja ketika menelusup mantap ke dalamnya. Serentak kedua kakiku melangkah jantan. Tinggi badanku pun ikut bertambah berkat sol sepatu baru. Cukup dengan alas sol sepatu tebal, maka kamu sanggup memandang dunia dari derajat ketinggian yang berbeda.

Oh, ini to yang dinamakan rasa percaya diri? Sepatu memang benda ajaib, dan ayah mewujudkan keajaiban itu untuk semua orang di kaki mereka.

"Kalau besar nanti, jangan jadi menyerupai Ayahmu ini yang tergantung pada alas kaki orang untuk memberi makan anak dan isterinya."

Aku tak menjawab. Ayah tak tahu betapa bangganya saya pada pekerjaannya. Kalau beliau tak jadi tukang sepatu, mana sanggup telapak kakiku menjajal bermacam-macam sepatu tiap hari? Harusnya ayah sadar jikalau ternyata semudah itu beliau telah membahagiakan anaknya.

***

Saat ayah tahu saya dipanggil wawancara kerja, ia semangat mengganti sol sepatuku. "Ini sol terkuat dan termahal! Semoga kakimu jadi ringan melangkah serta menciptakan kariermu melesat cepat, Nurdin."

Sol sepatu mahal memang beda! Memasuki gedung berkaca yang menjulang tinggi, kaki kerempengku melangkah tanpa segan. Mereka nikmati sekali melangkah glamor di atas ubin marmer. Aku tak peduli dengan trik-trik sukses wawancara, yang ada mataku malah terbuai memandangi kulit sepatu yang berkilatan. Ibu menyemirnya khusus untukku.

Wawancara sukses! Pewawancara eksklusif bertanya kapan saya sanggup mulai kerja. "Secepatnya, Pak! Besok pun saya siap!"

Ayah dan ibu senang luar biasa. Kami merayakannya dengan makan pecel ayam. Pecel ayam memang bikin kenyang, tapi rasa bersyukurku justru menyeruak gempita ketika menyemir sepatu.

Itulah jimat yang bikin karierku berderap mantap. Perlahan pekerjaanku mulai sanggup menghidupi ayah dan ibu dengan layak. Sudah waktunya kuwujudkan imajinasi masa kecil. Punya sepatu yang banyak! Tanpa ragu kuborong berdus-dus sepatu. Di rumah kutaruh mereka di rak beling khusus, dan mataku tak akan lelah memandanginya berjam-jam.

"Mau kamu apakan semua sepatu ini, Nurdin?" tanya Ayah satu kali.

"Sepatu-sepatu ini mimpiku, Ayah."

"Mimpimu?"

"Iya, dari kecil saya selalu ingin punya sepatu yang banyak!"

Ayah tak merespons, tapi air mukanya penuh tanda tanya. Dan, sejak itu baik ayah maupun ibu seolah kehilangan bunyi tiap kali melihatku pulang dengan tentengan kardus-kardus sepatu baru.

Seperti dua hari lalu, ketika semua mal kompak menggelar midnight sale. Buatku ini ialah tunjangan alam semesta untuk mewujudkan imajinasi punya banyak sepatu. Semua barang diobral setengah harga, termasuk sepatu. Meski saya harus sikut-sikutan dengan tentangan yang berjubel, tapi perjuangan tak pernah mengkhianati hasil. Empat pasang sepatu berhasil kubungkus.

Sepatu-sepatu itu naik kelas begitu ada di tanganku, dari etalase mal obralan jadi pajangan koleksi. Tak hanya naik derajat, suhu ruangannya pun kuatur biar tak rusak apalagi berbau.

Kutaruh dus-dus sepatu gres itu di jok belakang mobil. Cepat-cepat kugelindingkan ban kendaraan beroda empat di atas aspal, tak sabaran hingga ke rumah. Meski harus berhadapan dengan lampu kemudian lintas yang jarang hijau, wajahku terus tersenyum. Sepatu-sepatu gres itu kolam suntikan botoks yang menciptakan garis senyumku tersungging tanpa diperintah.

Roda-roda mobilku semakin memasuki aspal yang menuju rumah. Hingga sampailah di aspal yang dilintasi rel. Tak jauh dari rel itu ada sebuah rumah bedeng yang dulunya disesaki imajinasi anak kecil yang ingin punya banyak sepatu.

Ada perasaan puas tiap kali kulewati rel kereta ini dengan dus-dus sepatu baru. Aku menyerupai menampar sangar gerbong-gerbong kereta yang bising lalu-lalang. Karena waktu kecil dulu merekalah yang dengan sombong membuyarkan imajinasiku, hingga yang tersisa hanya remahan-remahan cita-cita yang kusimpan rapat-rapat.

Meski saya menyimpan dendam pada bunyi bising gerbong kereta, tapi saya selalu menghormati rel kereta itu. Aku tak mau mendekatinya apalagi melewati palang pembatasnya. Ini bukan alasannya saya berlagak mentaati peraturan tapi saya tak sudi gerbong-gerbong bising itu kembali merampas khayalanku yang sedang menumpuk jadi kenyataan di jok belakangan mobil.

Tapi, malam itu entah kenapa adrenalinku berlaku asing. Kubiarkan moncong kendaraan beroda empat melewati palang pembatas kereta, dan mesinnya pun ikut mati. Aku panik. Sol sepatuku menekan penuh kopling, dan tangan memutar kunci kendaraan beroda empat sambil berharap ini semua sanggup menciptakan mesin kendaraan beroda empat kembali menyala. Sial, mobilku justru tak bernyali.

Di luar orang menyerupai berteriak-teriak. Tak sanggup ku dengar terperinci bunyi mereka alasannya dentang tanda kereta lewat bercampur aduk dengan lengkingan detak jantungku.
Instingku memberi perintah segera keluar, dan biarkan tumpukan dus sepatu itu dihardik gerbong-gerbong kereta yang memburu. Langsung kuputar tubuh ke kanan sambil coba buka pintu mobil, dan sedetik itu juga lampu kereta menyalak di depanku.

Cepat sekali. Secepat mata yang menutup gelap, dan kesadaranku pun lelap. Gelap, warna yang sama dengan tumpukkan sol sepatu ayah yang dulu memancingku berimajinasi punya sepatu banyak.

Otakku termangu entah berapa usang hingga kemudian kelopak mataku tergerak untuk membuka. Berkas cahaya samar-sama mulai menusuk mata tapi kelopak mataku seolah tak takut, ia malah terus saja melebar.

Kudapati diri tengah berbaring ditutupi selimut biru yang dihujani label rumah sakit. Di tangan kananku menjuntai selang infus yang cairannya menetes lambat. Lalu di jari telunjuk kiriku mengapit sebuah alat yang menghasilkan dentangan irama sesuai detak jantungku.

Saat bibirku coba membuka suara, indera pendengaran menangkap bunyi ayah dan ibu. Mata mereka berbinar lega melihat saya siuman. "Alhamdulillah, Nurdin kamu selamat," ucap Ibu terbata-bata. Ayah pun mengangguk, dan mengusap-usap punggung tangan kiriku. Ia tak berkat apa-apa tapi sudut kedua matanya menumpuk air mata.

Otak memberi perintah untuk melontarkan kalimat pertamaku. "Sepatu-sepatuku?"

Bukannya menjawab, Ibu malah menjauh. Dia terduduk lemas di sofa abu-abu. Jemarinya meremas berpengaruh kain jilbabnya yang menjuntai.

"Sepatu-sepatumu aman. Semua ada di rumah. Sudah jangan dipikirkan yang penting kamu sehat." Nada bicara ayah diatur untuk tetap tenang.

"Bukan, maksudku sepatu-sepatuku yang di kendaraan beroda empat bagaimana?"

Ibu mengigit jarinya seolah tengah menahan diri dari rasa sakit. Aku pun memelototi ayah menuntut jawaban.

"Astagfirullah, Nurdin kamu gres saja selamat dari ukiran kereta tapi yang kamu tanya justru sepatu barumu." Bicara ayah sengit, dan sebulir air mata menetes di pipi kirinya.

Kedua mataku mengikuti ke mana bulir air mata itu terjun bebas. Tepat ketika ia menyentuh punggung tangan kiriku, mataku ikut menangkap selimut biru yang menutupi kakiku. Ah, iya bagaimana dengan kakiku? Kucoba gerakkan tubuh biar pinggangku ikut bergerak dan semoga menarik hati kedua kakiku untuk bereaksi. Tapi, tak terasa ada yang merespons di bawah sana.

Otakku kembali menyimpulkan pertanyaan. Mengapa selimutnya menyerupai menutupi permukaan yang rata tanpa ada undakan kaki di bawahnya? Pertanyaan ini menciptakan jantungku berderap persis pacuan kuda. Keringatku pun ikut-ikutan membujur tak karuan. Otakku mulai menyimpulkan banyak hal dan semuanya negatif!

Kupanggil ingatan terakhir. Aku duduk di belakangan kemudi ketika mobilku tiba-tiba mati persis di atas rel kereta. Aku juga ingat menangkap banyak suara. Otak memberi perintah untuk keluar, dan membiarkan tumpukan dus sepatu itu dicuri gerbong-gerbong yang sombong menggonggong. Sedetik kemudian gerbong-gerbong sombong itu menghantam jendela mobilku. Lalu hitam dan gelap...baru...baru saya sadar ada di daerah ini. Merangkum semua itu menciptakan tangan kananku menarik selimut dengan liar tanpa menunggu perintah.

Terkuak sudah. Kedua kakiku hilang. Yang tersisa hanya perban yang membebat tumpul. Gerbong-gerbong bising biadab. Mengapa mereka begitu membenciku. Dulu mereka menyalak imajinasiku di rumah petak ayah dan ibu. Kini mereka tak hanya melabrak tumpukan dus sepatu baruku tapi juga meremukkan kedua kakiku.

Aku memang tak seberuntung ayah, si tukang sol sepatu yang kerjanya memperbaiki sepatu rusak tanpa harus berimajinasi mempunyai semuanya!
Priska Siagian novelnya yang telah terbit berjudul Keterasingan (Grasindo, 2014)

Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diadaptasi dengan huruf detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com